CERPEN
Cerpen adalah karangan pendek yang
umumnya mengisahkan masalah sederhana.
Ciri-ciri cerpen
Ø Panjang cerita berkisar antara
3 s.d. 10 halaman/kurang dari 10.000 kata
Ø Cerita selesai dibaca dalam
sekali duduk
Ø Cerita hanya memiliki satu
insiden
Ø Konflik yang terjadi tidak
menimbulkan perubahan nasib tokohnya
Ø Cerita hanya memilikisatu alur
Ø Perwatakan digambarkan secara
singkat.
Struktur cepen dibentuk oleh
unsur ekstrinsik dan intrinsik
a.
Unsur ekstrnsik
ü
Latarbelakang
pengarang, seperti pendidikan, kondisi keluarga, jenis kelamin, dan usia
ü
Waktu
dan tempat penulisan karya
ü
Judul
karya
b.
Unsur intrinsik
ü
Tema, adalah pokok pikiran yang
menjiwai keseluruhan cerita
ü
Alur (plot),
merupakan pola pengembangan cerita yang
terbentuk oleh hubungan sebab akibat
Ø
Alur
dibedakan atas:
·
Alur
maju
·
Alur
mundur
·
Alur
campuran
ü
Latar/setting, merupakan tempat, waktu, dan
suasana yang digunakan dalam suatu cerita
ü
Penokohan, adalah cara pengarang
menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam
cerita
Ø
Penokohandibedakan atas,
Tokoh sentral
·
Tokoh
protagonis, merupakan tokoh berkarakter baik
·
Tokoh
antagonis, merupakan tokoh berkarakter jahat
Tokoh bawahan
·
Tokoh
tritagonis, merupakan tokoh yang paling dekat/sering muncul dengan
tokoh sentral karakter tergantung cerita
·
Tokoh
pembantu, merupakan tokoh pendukung/tambahan
·
Tokoh
lataran/figuran, merupakan pelengkap jalannya cerita.
ü
Sudut pandang (point of view), adalah posisi pengarang dalam bercerita
Ø
Sudut pandang dibedakan atas:
·
Sudut
pandang orang pertama, yaitu posisi pengarang berada dalam cerita,
ditandai dengan kata aku/saya.
·
Sudut
pandang orang ketiga, yaitu posisi pengarang bearada di luar cerita,
ditandai dengan nama tokoh/peran.
@salah satu sumber menyebutkan
bahwa jenjang SMA hanya dipelajari dua kategori sudut pandang. Dari berbagai
referensi buku bahasa Indonesia sudut padang tergolong ke dalam beberapa
jenis tergantung pengarang buku tersebut, namun hingga sekarang belum adanya
patokan/rujukan standar
ü
Amanat, merupakan pesan berupa
nasehat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui
karya itu.
Nilai-nilai dalam
cerpen
ü Nilai-nilai budaya berkaitan dengan pemikiran,
kebiasaan, dan hasil karya cipta manusia
ü Nilai-nilai sosial berkaitan dengan tata laku
hubungan antara sesama manusia (kemasyarakatan)
ü Nilai-nilai moral berkaitan dengan perbuatan baik
dan buruk yang menjadi dasar kehidupan manusia
dan masyarakatnya.
CONTOH CERPEN:
komedi si bugil & spanduk lusuh
Karya-Ahmad Tohari
Kebanyakan anak muda di kampung kami gemar akan orkes dangdut. Namun
tidak ada yang seperti Sontokliwon. Anak muda yang satu ini bukan gemar,
dia maniak. Maka Sonto selalu di sana bila ada pentas. Sonto akan
berdiri paling depan. Saat yang paling ditunggu adalah ketika penyanyi
berdiri di tubir panggung, agak jongkok, dan menawarkan tangan untuk
disalami penonton. Kepuasan Sonto tercapai ketika dia menengadah sambil
meraih tangan penyanyi. Pada saat seperti itu betis penyanyi hampir
menyentuh wajah Sonto. Demikian, Sonto pernah bilang tubuh perempuan
adalah keindahan ciptaan Tuhan. Jadi, tidak salah memandangi ke semua
bagiannya. Itu pendapat Sonto.
Kemarin ketika sedang memperbaiki motornya Sonto diuji: benarkah
tubuh perempuan selalu menarik dipandang karena ia ciptaan Tuhan? Pagi
itu ada perempuan terlantar lewat. Dia muda dan hampir bugil. Tetapi
wajahnya tanpa citra jiwa. Tatapan matanya kosong. Semua pejalan kaki
yang berpapasan dengan dia menunduk atau membuang muka. Sonto juga
menatapnya sepintas tetapi kemudian membuang muka. Ternyata Sonto tidak
setia dengan pendapatnya sendiri selama ini. Entahlah, Sonto merasa
tidak nyaman ketika melihat tubuh bugil perempuan terlantar; beda ketika
dia melihat tubuh penyanyi dangdut.
Si Bugil terus ke utara, melenggang bebas. Dia tak mengerti orang
kampung kami menghendaki dia menutup satu bagian tubuhnya dengan telapak
tangan. Dia malah menggunakan tangan untuk memunguti botol plastik di
pinggir jalan, lalu membuangnya lagi sambil tertawa. Agak di depan sana
perempuan terlantar itu berhenti. Mungkin karena angin dari timur
tiba-tiba bertiup lebih kencang. Dahan pohon kenari di dekatnya
bergoyang. Sebuah spanduk yang sudah lepas sebelah talinya ikut berayun
dan terjurai hampir mencapai tanah. Orang kampung kami tahu spaduk itu
sudah berbulan-bulan demikian. Tak ada orang yang mau menyentuh. Semua
merasa segan terhadap pemasang spanduk itu, sebuah organisasi politik
yang punya barisan pemuda berseragam loreng.
Tentu hanya orang seperti Si Bugil yang tidak tahu apa-apa. Dia tidak
tahu siapa pemasang spanduk itu. Dia juga tidak tahu beda pakaian
loreng dan pakaian biasa. Maka Si Bugil tidak hanya berani menyentuh
spanduk lusuh itu, tetapi bahkan menariknya hingga putus menjadi dua
bagian. Satu bagian yang ada di tangan Si Bugil sepanjang dua meteran
dan tertera lambang organisasi politik itu. Sesungguhnya lambang itu
sudah baur. Namun orang kampung kami pasti tahu lambang organisasi apa
gambar itu.
Di kampung kami para perempuan dan gadis menyukai iklan dengan model
artis cantik yang tubuhnya hanya bertutup lilitan handuk. Kakinya hampir
terbuka penuh. Di atas, dadanya juga setengah terbuka. Syahdan, apakah
Si Bugil yang terlantar itu juga ingin secantik model iklan? Apakah dia
pernah mengalami suatu masa menjadi perempuan normal yang tentu ingin
secantik artis? Seorang gadis kampung kami muncul. Maka dia menjadi
saksi bahwa Si Bugil mungkin benar ingin seperti artis cantik dengan
handuknya. Gadis kampung kali ini menyaksikan Si Bugil membalutkan
potongan spanduk lusuh itu ke tubuh sendiri. Seperti model cantik dengan
handuknya, tubuh Si Bugil terbalut dengan spanduk lusuh dari tengah
paha naik sampai tengah dada. Di bagian perut Si Bugil ada gambar
lambang organisasi politik.
Melihat ulah Si Bugil mata gadis kampung kami membulat dan menyala.
Mulutnya terbuka dan kelihatan dia berhenti bernafas. Namun sesaat
kemudian dia tergelak keras sambil menekan perut dengan kedua tangan,
berbalik dan lari. Boleh jadi dia ingin memanggil teman-teman agar ikut
menyaksikan pemandangan yang baginya amat mengesankan. Tetapi yang
kemudian datang bukan hanya para gadis melainkan juga orang dewasa
laki-laki dan perempuan, juga Sontokliwon. Sonto bahkan langsung
mendekati Si Bugil di bawah pohon kenari. Mungkin karena orang-orang
mengelilinginya, Si Bugil tak bergerak. Wajahnya tetap tanpa citra jiwa.
Matanya yang hampa tak pernah menatap siapa pun.
Sonto yang kelihatan amat bersuka-cita, berjingkrak dengan gerakan
semaunya. Dia seperti menahan kegembiraan yang siap meledak. Kedua
tangan naik ke atas dengan acungan kedua ibu jari. Sonto berjoget irama
dangdut.
“Ini baru bagus, benar-benar bagus, keren banget,” seru Sonto entah
ditujukan kepada siapa. “Yang kemarin keluyuran berbugil sekarang sudah
bertutup. Apa tidak keren? Iya, kan?”
Tak ada tanggapan. Orang-orang kampung kami membisu. Atau ada satu
orang yang tersenyum samar. Semua orang diam dan menunggu. Mata mereka
tertuju ke arah Si Bugil yang terus mematut-matut diri dengan potongan
spanduk lusuh itu. Ada orang kampung kami yang jakunnya turun-naik.
Menelan ludah. Kemudian, diawali dengan satu orang, warga kampung kami
mulai berbalik mau meninggalkan tempat. Namun mereka berhenti dan
menoleh. Ada motor menderu dan mendadak berhenti hanya setengah meter
dari kaki Sonto. Seorang pemuda dengan helm cakil dan celana loreng
terburu-buru memarkir motornya. Dia warga kampung kami juga.
“Ada apa ini?” tanya Si Cakil sedetik setelah melepas helmnya. Gerak
dan langkahnya amat sesuai dengan celana loreng yang dipakai.
Mulut semua orang kampung kami diam belaka. Kecuali mulut Sonto yang
cengar-cengir lalu bersuara rendah dan pelan. “Lah, Cakil sahabat kami,
kamu bisa lihat sendiri, bukan?”
Seperti mendengar perintah kepala regunya, pemuda bercelana loreng
itu patuh kepada Sonto. Matanya yang tajam kemudian mengarah lurus ke
batang pohon kenari kira-kira tujuh langkah di depannya. Di sana Si
Bugil masih bergerak mematut diri dan bersikap seperti tak ada siapa pun
di sekelilingnya. Sementara orang-orang kampung kami menatap wajah Si
Cakil dengan seksama. Wajah yang amat tegang dan merona tetapi seakan
buntu. Tangan kanan Si Cakil mengepal seperti mau bertinju. Urat
rahangnya menggumpal. Untung suasana yang tegang bisa dimentahkan oleh
Sonto. Dia berjoget goyang dangdut dengan asyiknya tepat di belakang
punggung Si Cakil.
“Brenti!” Teriak Si Cakil setelah berbalik badan. Wajahnya bertambah
merah. “Ini bukan perkara main-main. Kalian jangan anggap enteng. Ini
pelecehan terhadap organisasi kami. Siapa yang menyobek spanduk itu?
Ayo, siapa?” Leher Si Cakil tegang. Matanya merah menyorot sekeliling.
“Lah, sahabat kami Cakil, sabarlah,” jawab Sonto pelan. “Dia sendiri
yang menjambret spanduk itu untuk menutup tubuhnya. Itu bagus kan?
Artinya, organisasimu telah menolong menutup aurat satu perempuan
terlantar. Iya kan? Jangan tuduh kami. Di sini tidak ada orang yang
peduli terhadap spanduk lusuh itu kecuali kamu.”
“Cukup! Aku tidak peduli. Yang jelas martabat organisasi kami sedang
dipertaruhkan; simbol kami dijadikan penutup aurat perempuan gila. Kamu
Sonto, ambil spanduk itu dari tubuh itu!” Perintah Si Cakil sambil
berkacak pinggang. Lagi, sikap Si Cakil sesuai benar dengan celana
lorengnya. Tetapi Sonto tetap tenang, sangat tenang.
“Walah-walah, Cakil sahabat kami,
sampean ini bagaimana? Aku
kamu suruh melepas spanduk itu dari tubuhnya? Menyuruh aku menelanjangi
perempuan? Ya tidak lah. Kami tidak mau lagi melihat tubuh itu kembali
telanjang. Lagi pula, mengapa bukan kamu sendiri? Spanduk lusuh itu
milik organisasimu kan? Ayo, ambillah. Nah, kami akan menyaksikannya.”
Si Cakil mendesis-desis sambil berjalan menghentak-hentakkan kaki.
Matanya selalu menghindar dari pohon kenari. Di sana Si Bugil sudah
diam. Tetapi tadi dia tersenyum aneh ketika Sonto bergoyang joged di
belakang Si Cakil. Barangkali joget Sonto memang amat buruk bahkan di
mata orang yang telah hilang kesadarannya. Suasana terasa hambar dan
bisu. Kemudian ada perempuan kampung kami yang pergi meninggalkan
kerumunan di bawah pohon kenari. Dia berjalan cepat menuju halaman rumah
sendiri lalu menarik selembar kain batik dari galah jemuran. Balik lagi
ke bawah pohon kenari dan langsung mendekati Si Bugil. Ada irama
keibuan keluar dari mulutnya. Lembut sekali.
“Sini, Nak. Sinik, Nak. Kamu pakai kain ini. Yang itu buruk, dilepas saja, ya?”
Semua orang menunggu. Dan semua orang melihat mata Si Bugil tidak
bergerak. Ketika permintaan itu diulang, Si Bugil menoleh, tetapi sambil
memiringkan badan pertanda menolak. O, perempuan kampung kami itu
seorang penyabar dan sangat lembut. Maka dia ulangi lagi permintaannya.
“Pakai kain ini, Nak, nanti kamu akan cantik seperti pengantin baru yang pagi-pagi mandi keramas. Ayo, Nak, sini.”
Demi dahan-dahan kenari yang terus bergoyang ditiup angin dari timur,
Si Bugil memberi tanggapan. Matanya yang semula mati tiba-tiba ada
percik setitik cahaya jiwa. Ada senyum, senyum apa pun namanya. Kedua
tangannya bergerak meraba tepian spanduk yang tergulung di bagian dada.
Seperti anak kecil yang mau melepas semua pakaiannya, Si Bugil bergerak
apa adanya. Spanduk lusuh mulai melonggar di dada dan kemudian nyaris
jatuh. Orang-orang kampung kami menundukkan kepala. Si Cakil membalikkan
badan sambil mendesis dan menghentakkan kaki. Hanya Sonto yang lain.
Barangkali dia ingin mengembalikan pendapat bahwa tubuh perempuan adalah
keindahan ciptaan Tuhan dan tentu boleh dipandang bagian-bagiannya.
Tetapi harapan Sonto melihat keindahan itu gagal. Perempuan kampung kami
lebih cepat bergerak menutup tubuh Si Bugil dengan kain batik yang
dibawanya. Dan benar, Si Bugil tampak lebih pantas meski tidak secantik
pengantin baru yang pagi-pagi harus mandi keramas.
Perempuan kampung kami menarik keluar spanduk lusuh yang berlambang
organisasi politik itu dari bawah kedua selangkang Si Bugil lalu
menjulurkannya ke pada Si Cakil.
“Ambil ini. Kami, bahkan Si Bugil tidak membutuhkannya.”
Si Cakil hanya menatapnya dengan sudut mata, mendesis, lalu mengambil
motornya, dan pergi. Orang-orang kampung kami bubar sambil membawa tawa
masing-masing. Hanya Sonto yang tinggal. Ia bergoyang joget begitu
asyik di hadapan Si Bugil yang entah mengapa kali ini dia bisa
tersenyum. []
AHMAD TOHARI
Seorang novelis terkemuka. Menulis cerpen, novel, dan esai. Lahir di
Banyumas, 13 Juni 1948. Dia telah menerbitkan paling tidak 13 karya,
berupa novel dan kumpulan cerpen. Yang sangat terkenal tentu saja novel
Ronggeng Dukuh Paruk. Novel
ini telah diadaptasi ke dalam film. Karya-karyanya diterbitkan juga
dalam berbagai bahasa seperti Jepang, Tionghoa, Belanda, Inggris, dan
Jerman. Dia mendapat sejumlah penghargaan, di antaranya SEA Write Award,
1995. Kini tinggal di Banyumas, Jawa Tengah.
sumber:
http://akfil88.blogspot.co.id/2015/01/materi-pembelajaran-kelas-xi-sma.html
http://horison-online.com/cerpen/41-komedi-si-bugil-dan-spanduk-lusuh.html