Tiap tahun, Ajengan Muhammad Nuh Ad-Dawami (77) melahirkan kitab. Selama bulan puasa, kitab itu dikaji bersama para santrinya. Dari tangannya, lahir puluhan kitab. Uniknya, masih ditulis tangan. Karangan itu pun hanya tersebar di para muridnya.
Karyanya pernah diupayakan ditulis ulang dengan komputer. Kemudian ia memeriksanya. Rupanya banyak salah ketik. Komputerisasi pun dihentikan. Karena tak pernah bisa mengetik, ia pun kembali menggoreskan penanya. Kebiasaan itudilakoni sejak belia, ketika nyantri sejak usia dini.
Ia bermukim di Cisurupan, 35 km arah selatan dari pusat Kota Garut. Jika bicara, suaranya bariton dan tegas, khas penceramah. Ia memang penceramah keliling. Di usia jelang kepala delapan, masih berkeliling ke tempat-tempat terpencil. Terutama Garut selatan, seperti Bungbulang, daerah yang bertahun-tahun dibinanya.
Waktu itu sore ditingkahi gerimis. Perkampungan Cisurupan disembunyikan kabut. Ajengan Nuh bersandar ke dinding rumahnya. Ia mengenakan sarung krem bergaris hijau. Kopiahnya dilucut, disimpan di samping. Tubuhnya dibalut jaket hijau muda. Hawa dingin memang menusuk. Ia bercerita.
Tahun 90-an, ia dianjurkan Enas Mabarti untuk menuliskan ceramah-ceramahnya. Enas, penulis kelahiran Tasikmalaya yang tinggal di Garut, kagum akan ceramahnya. Sampai ia menawarkan asisten untuk sang ajengan.
Ajengan yang disapa Akang oleh santri dan Abah oleh anaknya, meminta Ai Sadidah, puteri ketiga membawakan kitab-kitabnya. Kepada Surah, ia perlihatkan Mustika Akidah: Widuri Pamanggih, Tauhid Praktis ‘ala Thariqah Ahli Sunah wal-Jamaah, Peperenian Lentera Cacaang, Jalan Ambahan Kabagjaan Jalma Awam.
Kemudian Taraweh Qiyam Ramadhan, Tutungkusan Permata, Tauhid Amaly Ahlu Sunah wal-Jamaah, Hizb Tafrij Kurab Qodlai Hajati (Senjata Panyinglar Kasusah Nutupan Pangabutuh), Al-Mukhtashar fi Tauhidy wa-Ta’biruhu bil-Adzkari, Karakteristik Ahl Sunah wal-Jamaah, al-Muhtaj Ilaih.
Rata-rata karya pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda berbahasa Sunda, karena ia ingin bicara kepada kaumnya, disamping menjaga bahasa ibu para santri. Selain itu, ada juga berbahasa Arab dan Indonesia.
“Akhir tahun 80-an Abah sudah menulis, seperti tukilan Ilmu Bayan, Ilmu Ushul Fiqh, Bab Tarawih, Bab Syahadat. Tapi, secara serius dalam satu buku seperti Bentang Salapan, sejak tahun 2000,” kata putera Ajengan Nuh, Cecep, kepadaSurah, bulan Februari lalu.
Jauh sebelumnya, Garut telah melahirkan ratusan penulis dengan karya-karyanya. Garut punya trah kepenulisan panjang. Mulai dari karya sastra, penelitian ilmiah, dan risalah keagamaan.
Subur tanah, subur risalah
Garut, sebagaimana wilayah selatan Jawa Barat, bertanah pegunungan dan bebukitan. Ada rangkaian gunung api aktif yang mengelilingi dataran dan cekungan antar gunung, seperti komplek gunung Guntur, Haruman, Kamojang di sebelah barat, Papandayan, Cikuray di sebelah selatan dan tenggara, dan gunung Cikuray, Talagabodas, Galunggung di sebelah timur. Letusan gunung berapi berabad lalu, menyebabkan tanah Garut subur untuk pertanian dan perkebunan.
Pada zaman kolonial, tak kurang 35 kebun dikelola Belanda. Bahkan, dari Garut pula tanaman teh dikembangkan, yang kemudian ditanam di daerah-daerah lain.
Alamnya yang hijau dan kontur bebukitan jadi daya tarik tersendiri. Keindahan Garut pernah membuat orang Belanda menjuluki Swiss van Java. Konon karena itulah,Charlie Chaplin, bintang film serbabisa kelahiran Inggris, pernah ke Garut. Bukan hanya Chaplin, tapi si pemilik kumis Hitler itu hingga dua kali berkunjung.
Tak hanya untuk tanaman, tanah Garut subur pula melahirkan penulis. Ratusan karya lahir dari tangan anak-anaknya. Dari waktu ke waktu seolah ada barisan panjang, turun-temurun, sambung-menyambung untuk menulis. Sepertinya, orang garus unya rumus; subur tanah harus subur risalah.
Pada periode awal, para pengarang menggunakan Wawacan sebagai cara penulisan. Wawacan adalahcaramenulis berbentuk dangding, yaitu tulisan terikat dalam aturan pupuh 17. Misalnya pupuh Kinanti, vokal akhir harus berbunyi u-i-a-i-a-i.
Selain wawacan, yang termasuk dangding adalah guguritan. Perbedaannya, wawacan biasanya terdiri bermacam-macam pupuh; berisi cerita babad, wayang; kisah kontemporer. Sedangkan guguritan umumnya terdiri satu-dua pupuh yang tidak begitu panjang.
Pengarang yang menulis dengan wawacan adalah Raden Haji Muhammad Musa (1822-1886). Pada usia belia, ia diajak ayahnya, Raden Rangga Suryadikusumah (Patih Limbangan), naik haji. Sepulang dari tanah suci, ia belajar agama di sebuah pesantren Purwakarta.
Musa menulis dalam bentuk wawacan sebanyak 11 judul dan 33 dalam bentuk prosa. Di antara buah tangannya adalahWawacan Raja Sudibya (1862), Wawacan Wulang Krama (1862), Wawacan Secanala (1863), Wawacan Ali Muhtar (1864), Wawacan Wulang Murid (1865), Wawacan Panji Wulung (1871) Dongeng Pieunteungeun (1867), Katrangan Lampar Sebar(1874), Dongeng-dongeng nu Araneh (1884).
Menurut penelitian Mikihiro Moriyama, Musa adalah tonggak perkembangan modernitas di kalangan orang Sunda. Terutama dalam karyanya “Wawacan Panji Wulung. Dalam buku itu, ia menggambarkan jiwa-jiwa modern, seperti tokoh yang mengandalkan bukti dan nalar.
Peneliti Jepang tersebut menganggap modern ketika Musa menulis tokoh utama yang tidak umum pada wawacan. Musa mislanya menulis tokoh yang tidak mempercayai dukun. Padahal, cerita wawacan biasanyadidominasi khayalan tak masuk akal.
Cara berpikir Musa seperti itu, tak bisa dimungkiri karena terpengaruh seorang Belanda, K.F Holle. Keduanya berkawan selama 30 tahun. Holle-lah yang mendorongnya untuk menulis dari mulai tradisi Sunda hingga persoalan pertanian.
Musa memiliki puteri, Raden Ayu Lasminingrat (1843-1948). Ia pengarang angkatan pertama perempuan Sunda. Dari tangannya, lahir Warnasari (2 jilid), terjemahan dari buku bahasa Belanda Verhalen van Moeder de Gans. Ia pula bersama Raden Dewi Sartika, perempuan perintis pendidikan perempuan Sunda dalam lembaga Sakola Istri.
Pengarang lain yang menggunakan wawacan adalah Haji Hasan Mustapa (1852-1930). Ia adalah seorang penghulu, ulama dan pujangga Sunda terbesar. Ia sangat populer dengan tulisandangdingnya. Sekitar tahun 1900, Haji Hasan Mustapa (selanjutnya HHM) menulis 10.000 bait dangding yang mutunya dianggap tinggi oleh para pengeritik sastra Sunda.
Menurut Hawe Setiawan, dalam sastra Sunda, karya-karya HHM adalah tonggak penting sebagai puisi yang mengandung mistisisme Islam. Hingga kini, karya-karyanya dalam bentuk dangding, belum ada yang mampu menandingi.
Di antara karya HHM adalah Gelaran Sasaka dina Kaislaman(tanpa tahun), Bale Bandung(1925), Patakonan jeung Jawabna(surat-surat HHM dengan Kiai Kurdi Tasikmalaya, tanpa tahun), Bab adat-adat Urang Priangan jeung Sunda Liana ti Eta(1913).
Beberapa karyanya disimpan di perpustakaan Leiden, Belanda. Di antaranya Istilah, Martabat Tujuh, Basa Kolot, Gurinda Alam, Babaran Ngeunaan Basa Sunda dan Buka Rahasia Sebetulnya Aceh dan Pidi.
Karya-karyaHHM, dibagi ke dalam dua golongan, yakni puisi dan prosa. Dalam golongan pertama, terdapat dangding. Golongan kedua, terdapat uraian mengenai pokok masalah tertentu yang biasanya diselipi dangding, dan dialog dalam bentuk tanya-jawab.
Dalam tulisan-tulisannya, ia dituduh berpandangan wahdatul wujud (faham menyatunya manusia dengan Tuhan). Salah satu tuduhan datang dari Sayid Utsman bin Aqil. Menjawab tuduhan, ia menulis risalah berjudul Mayar Kontan, Sakalian Ngabekem Gelap Saleser (Membalas kontan sekalian membekap guntur menyambar).
Garut Terus Menulis
Tanah Garut tetap subur melahirkan karya tulis dari tangan anak-anaknya. Publik sastra Indonesia tidak akan melupakan novel Atheis (1949). Novel tersebut diangkat ke layar lebar dengan judul sama tahun 1974. Pengarangnya Achdiat Karta Mihardja (1911-2010). Ia tokoh sastra Indonesia yang hidup di lima zaman (Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi).
Achdiat mendokumentasikan perdebatan kebudayaan para pendiri bangsa ini dalam Polemik Kebudayaan (editor, 1948). Dari tangannya juga lahir Bentrokan dalam Asrama (drama, 1952), Keretakan dan Ketegangan (kumpulan cerpen, 1956), Kesan dan Kenangan (1960), Debu Cinta Berterbangan (novel, 1973) Belitan Nasib (kumpulan cerpen, 1975).
Di tahun sama, terbit kumpulan cerpennya, Pembunuhan dan Anjing Hitam. Tahun 1977, mengarang naskah drama Pak Dullah in Extrimis(drama, 1977), Si Kabayan, Manusia Lucu (1997)Manifesto Khalifatullah (novel, 2006).
Tahun 1928 lahir Dodong Djiwapradja. Sejumlah puisinya tersebar di majalah juga antologi Gema Tanah Air (1948) susunan H.B. Jassin, Laut Biru Langit Biru (1977) susunan Ajip Rosidi. Baru tahun 1997 dia menerbitkan puisi tersendiri bernama Kastalia (kumpulan sajak 1948-1973). Sajak-sajaknya dikumpulkan juga Linus Suryadi A.G. dalam Tonggak(1987).
Sembilan tahun kemudian, Garut melahirkan sastrawan Wing Kardjo Wangsaatmaja. Ia menulis sejumlah puisi yang dikumpulkan dalam Selembar Daun (1974), Perumahan (1975), Fragmen Malam (1975). Ia juga menerbitkan Pohon Hayat: Sejemput Haiku (2002).
Lalu, tahun 1949, lahir Usep Romli HM. Ia tinggal di Desa Cibiuk. Pengarang yang ini menulis di mingguan Fusi,Giwangkara, Pelita, Sipatahunan, dan Pikiran Rakyat, Kalawarta Kujang, Mangle, Hanjuang, Gondewa, Galura.
Sebagai seorang yang dibesarkan di pesantren, beberapa karyanyamengungkap duniasantri, diantaranya Bentang Pasantren (bintang pesantren, novel, 1983), Cuerik Santri (tangis santri, kumpulan Cerpen, 1985) Jiad Ajengan, (jampi-jampi Kiai, cerpen, 1991), Percikan Hikmah (kumpulan anekdot Islam, 1999), dll.
Surah pernah bertamu ke rumah pengarang yang masih produktif menulis ini. Dan beberapa kali komunikasi melalui ponsel dan jejaring sosial.
Di ruang tamunya, terdapat beragam jenis buku. Baik karya sendiri maupun karya penulis lain. Juga terdapat kitab-kitab kuning yang biasa dikaji di pesantren. Ia memang ahli bahasa Arab. Kemampuannya itu telah mengirimkannya dalam liputan Timur Tengah manakala ia jadi wartawan Pikiran Rakyat.
Beberapa piagam penghargaan tergantung di dinding. Ia memang pernah meraih penghargaan Hadiah Mangle (1977), Hadiah Penulisan Buku Depdikbud (1977), Piagam Wisata Budaya Diparda Jabar (1982) serta Hadiah Sastra LBSS (1995). Juga anugerah Rancage (2010) untuk kategori karya, yaitu buku Sanggeus Umur Tunggang Gunung; dan Rancage kategori jasa (2011)
Menurut Usep, sejak awal abad 18, Garut sudah menjadi sumber ilham para sastrawam, pelukis, dan fotografer. Pengarang Arab Abdullah Assegaf menulis Fatat Qarut (novel, Gadis Garut), penyair Jerman juga pernah menulis puisi-puisi berlatar belakang keindahan Garut.
Moh. Ambri, sastrawan Sunda yang terkenal terkenal dalam bukunya Numbuk di Sue (1936), memakai daerah Garut Selatan yaitu Waspada, Cikajang, Cisompet, Cilauteureun sebagai latar kisah.
“Hal ini membentuk tradisi intelektual penduduk stempat untuk aktif dan kreatif melahirkan karya-karya tulis,” paparnya.
Karena itulah hingga kini, Garut terus berkarya melalui pengarang-pengarangnya seperti Surachman RM, Olla S Sumarnaputra, Abdullah Mustapa, Ai Koraliati, Andan Purasasmita, Apip Mustopa, Nenden Lilis A., Asep Salahudin, dan Iip D. Yahya.
Sebelumnya, tanggal 23 Januari 2013, Usep mengirimkan pesan singkat ke ponsel saya. Isinya mengabarkan orang Garut yang memiliki ‘tenaga dalam’ luar biasa dalam menulis. Dalam sehari, tulisannya tentang Maulid Nabi Muhammad, dimuat di tujuh koran berbeda dengan perspektif berbeda.
Ketujuh artikel tersebut adalah Maulid Politik Kenabian (Kompas), Religiusitas Maulid Nabi (Republika), Spirit Budaya Kenabian (Republika rubrik Kabar Jabar), Maulid Kita (Pikiran Rakyat), Tarekat Kultural Maulid (Tribun Jabar), Maulid dan Paradoks Keberagamaan (Media Indonesia), dan Semiotika Berkat Maulid (Jurnal Nasional).
Penulis tersebut adalah Asep Salahudin, santri Limbangan yang kini mengabbdi Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Dalam produktivitas menulis, ia pernah memeroleh anugerah Rucita Aksara dari Universitas Padjajaran dalam kategori mahasiswa (S3) tahun 2012. Anugerah tersebut diberikan kepada dosen dan mahasiswa yang paling produktif menulis di media massa.
Usep pun menjelaskan semangat orang pesantren menulis. Menurut pengasuh Pesantren Raksa Sarakan (Cinta Tanah Air) ini, menulis itu karena dakwah. Bagi orang pesantren, dakwah tidak hanya dengan lisan, tapi juga tulisan.
Sebagaimana Muhammad Musa, Haji Hasan Mustapa, pesantren melahirkan penulis handal seperti KH Teten (Pesantren Al Ulfah Lewo, Malangbong), KH Hasan Basri (Pesantren Keresek Cibatu), KH Uding Bahrudin (Wates, Limbangan). Juga Ajengan KH Nuh Ad-Dawami, kiai yang dituturkan di muka tulisan ini.
Lalu, dalam benak saya terbersit sebuah pertanyaan, apakah daerah lain memiliki khasanah pustaka seperti Garut? Kemungkinan besar punya, tapi kemungkinan besar juga kita mengerti. Bukankah di antara kita banyak yang tidak mengerti tentang daerah kita sendiri, sehingga silau dengan negeri nan jauh? Ah, sudahlah, saya ingin menjelajah bongkahan pustaka di daerah lain lagi. (Abdullah Alawi)
No comments:
Post a Comment