Wednesday, March 2, 2016

puisi Sebatas Rindu – oleh Septina Aulina Fransisca

Sebatas Rindu
oleh: Septina Aulina Fransisca
Rasa sepi berselimut rindu
Hati yang rapuh dibalik gelak tawa yang bahagiaRindu ini muncul begitu saja
Membuatku terhanyut dalam lamunan yang tiada arti

Hati ini memaksaku untuk masuk kedalam angan tentangmu
Pipiku pun mulai merasakan air mata yang menetes
Selemah inikah hatiku?
Dikalahkan oleh sebuah rasa yang seharusnya sudah ku buang jauh
Sepenggal hati yang tak bisa menahan rindu
Kemana rasa ini harus kubuang?
Ku telusuri lagi hati ku, dan terus bertanya
Adakah kau merasakan hal yang sama?
Atau ini hanya sebatas rindu yang sepihak?
Sebatas Rindu – oleh Septina Aulina Fransisca
Tangerang Selatan
https//twitter.com/chikaahh

Tuesday, March 1, 2016

cerpen karya gilang rahmawari-monolog kucing

monolog kucing
karya: gilang rahmawati



*bruk
Aku terlempar dari ketinggian, kulihat ke langit-langit ada tangan yang melepasku. Bukan..bukan, dia bukan melepasku tapi melemparku. Teramat keras, hingga terasa tulangku berbunyi terkena aspal keras.
Pemilik tangan itu pergi, menjauhiku. Rasanya aku ingin memaki tapi ternyata air mata lebih dahulu turun di ujung mataku. Ah, tidak! Aku menangis, bukan memaki. Dia –pemilik tangan- itu benar-benar pergi dan menghilang di ujung jalan meninggalkanku yang masih berusaha berteriak padanya.
“Meoooonngg…” aku merintih.
Baru saja rasanya tadi pagi aku merasakan nikmatnya sepiring ikan asin bersama saudaraku. Tapi, sekarang di tengah teriknya matahari di atas kepalaku. Aku kebingungan dan kelaparan. Aku mulai mengendus, mencari sesuatu yang mungkin bisa kumakan. Di balik pohon itu ada tong sampah, tapi selama aku hidup tak pernah kusentuh dan kucari makanan dari tong sampah.
Aku hanya bisa menatap bentuk tong sampah itu. Seharusnya aku bisa menjatuhkan benda itu, sebab ia tidak begitu tinggi. Tapi, aku terlalu enggan untuk mendekatinya. Ternyata keenggananku ini diperhatikan oleh kucing lain.
“Kenapa? Kamu jijik ya ke tong sampah?” godanya dari atas pagar.
Aku hanya terdiam. Bingung kata apa yang bisa kuberi untuk menjelaskan aku tidak pernah menyentuh tong sampah.
“Tampaknya aku baru melihatmu di sini, asalmu darimana?” tanyanya lagi.
“Aku..akuuu.. Entahlah, tadi manusia melemparku dan ia telah memisahkanku dari saudaraku.” Aku mulai bisa berbicara dengan kucing itu.
Saat kami asik berbincang (tentu saja dengan bahasa kucing) ada air yang jatuh dari atas. Ku pikir itu air hujan tapi ternyata air yang berasal dari ember yang dilempar oleh manusia.
“Huuusshh huussh, jangan berkelahi di sini… sana sanaaa..” bentak manusia itu.
Aneh, padahal kami berdua tidak berkelahi. Ya, kami hanya berbincang saja. Kini tubuhku basah kuyup dan kucing yang tadi baru kukenal telah hilang dari pandanganku. Ia berlari menjauhi manusia itu.
Aku berjalan pelan lalu duduk dan menjilati tubuhku, mengeringkan bulu-buluku yang basah. Aku masih menerka-nerka, sejauh mana aku dibuang sekarang. Karena, selama perjalanan aku hanya melihat kegelapan. Hanya telingaku saja yang berusaha mendengar suara-suara di luar kardus. Aku seperti diculik tapi sayang ini bukan penculikan tapi pembuangan.
Masih menjilati bulu-buluku yang basah, aku menerka-nerka apa kesalahanku hingga dibuang begini. Setiap pagi aku hanya berjalan-jalan mengelilingi rumah itu, ya memang sesekali aku menaiki sofa milik mereka. Tapi toh aku tidak mencakar-cakar, aku hanya berbaring di sana. Sering kali aku berkeliling di plafon untuk mencari tikus. Bukankah itu menguntungkan bagi mereka, setidaknya aku membasmi tikus-tikus yang sering memakan apa saja yang ada di dapur.
Dan kebaikanku dibalas dengan melemparku jauh dari tempatku lahir? Ah, tega.
Memang aku bukan lagi kucing kecil, sebab tubuhku kini sudah lebih besar dan sudah bisa menangkap tikus. Apa karena aku telah menjadi besar, sehingga aku dilempar?
Aku mulai berjalan lagi mengikuti jalan trotoar yang panas menyengat, sambil masih menerka-nerka kesalahanku. Hingga aku lelah sendiri mencari jawabannya. Jadi, kuputuskan untuk melupakannya dan menganggap ini memang sudah pantas kualami. Toh pada akhirnya aku memang sudah harus berpisah dari saudaraku. Ya, meski aku tetap tidak terima dengan cara dilempar seperti tadi.
“Meooonng..”
Aku mengeluarkan suara untuk mengetes seberapa ramai atau seberapa sunyi tempat yang baru ini. Kakiku mendadak lemas sebab perut terus saja merengek minta diisi. Kutoleh lagi tong sampah yang sudah kutinggal pergi. Mungkin di dalam tong itu banyak isi yang bisa menganjal perutku.
Sepertinya tong sampah itu berbicara padaku, “ayolah kemarii…” hingga ia berhasil menyeret kakiku untuk balik arah mendekatinya.
Aku berusaha berdiri di tepi tong dan melihat ke dalam tong.
*Wuusshh..
Suara angin tampaknya menertawakan kepedihanku, tong itu tidak berisi makanan. Hanya ada setumpuk kertas. Mungkin seharusnya aku makan kertas saja jika siang ini tidak mendapati makanan. Ah, sejak kapan kucing makan kertas? Mau cari mati rupanya aku.
Tempat ini memang ramai, tapi ramai oleh motor yang lalu-lalang. Tidak ramai oleh orang-orang yang jalan kaki. Aku duduk di pinggir trotoar, mengusap-usap kepalaku. Dari balik pagar di sebuah rumah, ada seorang anak perempuan yang berteriak mengagetkanku.
“Iiiii ada kuciiing lucuu..”
Anak itu berlari mendekatiku, aku berusaha mundur menjauh. Dia begitu asing, tapi entah kenapa aku mencium ‘aroma’ kebaikan di tangannya. Aku masih tetap bertahan dengan sikapku yang terus mundur. Anak itu juga masih bertahan untuk mendekatiku.
“Puuss..meoong sini..”
Aku masih enggan mendekat, kubalas dengan suara meong saja, “Meeoonngg..”
“Okeeh okeh, sebentar ya pus..” ucap anak itu lantas ia pergi meninggalkanku yang masih ketakutan.
Anak itu masuk ke dalam rumahnya. Tak berselang lama ia kembali lagi dan lihat… Dia membawa sepiring nasi bercampur ikan asin dan ah apa itu seperti semangkuk air.
Terima kasih Tuhan kau mendengar suara perutku, tak perlu lagi aku mendatangi tong sampah di tempat lain. Sekarang, di depanku sudah ada sepiring ikan asin dan semangkuk air.
“Meoong..”
Aku berucap lirih masih dengan posisi menjauh darinya. Aku bukan takut tapi segan. Kubiarkan lama anak itu menjulurkan piring dan mangkuk itu. Tak bisa dibohongi aku memang tergiur, tapi aku segan!
Anak itu mengajakku bermain-main, ditariknya piring itu bergerak masuk ke terasnya. Aku mengikuti dengan jarak yang agak jauh. Hidungku terus saja bergerak-gerak, mengendus aroma sedap ikan asin. Ia meletakan piring itu di teras rumahnya yang teduh, ah terima kasih Tuhan dia mengerti aku kepanasan. Anak itu pergi meninggalkanku yang masih terdiam malu-malu.
“Meoonng..”
Aku mencoba mencarinya dengan bersuara, tak jua ia keluar. Kulihat kiri dan kanan, waspada pada kucing lain. Ini jatahku! Jangan sampai kucing lain mengambilnya. Kakiku berjinjit mendekati piring itu, hidung pun masih mengendus-endus.
“hhmm..nyaaamm..”
Terima kasih Tuhan, kau hadirkan sepiring ikan asin ini yang lezat.
*braaakk..
Reflek aku menoleh, mencari asal suara. Suara apa itu? Darimana? Anak tadi apa kucing lain?
Kugeser piring itu agak menepi, pokoknya ini jatahku jangan ada yang ikut memakannya. Kunikmati lagi setiap gigitan ikan asin sampai piring itu tampak bersih. Kujilati air pada mangkuk, segar. Selesai makan, aku duduk santai kekenyangan sambil menjilati kaki.
“Baaaa…”
Aih! Aku kaget, anak itu keluar dari pintu lalu berteriak nyaring.
“Dasaarrr kucing, memang sukanya malu-malu. Haha.. pantas saja ada peribahasa malu-malu kucing. Hahaha” anak itu tertawa geli, dan aku pun tersipu malu.
****
Kupanggil, dia cuma meoong.
Kutinggal, dia juga meoong.
Kulempar ikan, dia terdiam.
Kutinggal pergi, dia curicuri pandang.
Kuintip, dia mengunyah.
(Malu-Malu Kucing)
****

Gilang Rahmawati (GeeR)
Palangkaraya, 27 Juni 1990.

pengertian singkat tentang esai beserta contohnya

Cara Membuat Esai yang Baik dan Contoh Karangan Esai



- Esai adalah sebuah tulisan yang mengandung opini, pandangan, atau ekspresi pribadi mengenai sebuah hal yang sedang berlangsung di masyarakat, disertai bukti-bukti ilmiah yang mendukung / menguatkan opini,pendapat dan ekspresi diri kita terhadap hal tsb.
 Agar maksud yang ingin disampaikan dalam sebuah essay bisa tesampaikan dengan baik, maka sebuah esai harus ditulis dengan sebaik mungkin.

 Berikut ini adalah cara membuat esai yang baik :

1. Tentukan tema yang menarik

Sebelum menulis sebuah esai, tentukan terlebih dahulu esai apa yang ingin Anda tulis. Sebuah tema yang bagus akan mempengaruhi isi keseluruhan esai tersebut. Oleh karena itu, pilihlah tema yang sedang hangat – hangatnya terjadi, sehingga para pembaca mau meluangkan waktunya untuk membaca essai yang akan Anda tulis.

2. Lakukan research/riset (penelitian terhadap suatu hal yg menjadi isi dari esai tsb)

Setelah mendapatkan tema, lakukanlah research melaui buku atau internet tentang tema tersebut. Hal ini dilakukan untuk mendukung argument – argument yang ingin Anda tulis di dalam essay, sehingga pendapat Anda akan semakin kuat. Jika essay Anda didukung dengan data seperti, fakta, contoh, teori, dan lain – lain, maka esai tersebut akan menjadi bagus. Sebaliknya, jika esai Anda tidak memiliki data – data pendukung, tulisan Anda ini akan dianggap omong kosong dan orang – orang tidak akan percaya dengan esai yang Anda buat. 

3. Membuat outline (kerangka)

Membuat kerangka atau outline atau kerangka sangat berguna ketika membuat sebuah karya tulis. Hal ini dilakukan untuk menyususn ide–ide yang ingin diungkapkan. Selain itu, dengan outline, tulisan Anda tidak akan keluar dari ide atau tema, sehingga esai Anda akan koherence dan logis. 

4. Memperhatikan diksi (pemilihan kata)

Esai yang baik adalah esai yang menggunakan bahasa yang baik, hindari lah penggunaan kata tidak baku dan kata-kata yg tidak sopan, karena esai adalah karya tulis formal. Oleh karena itu gunakanlah bahasa–bahasa yang formal. Disamping itu, Anda juga perlu mempertimbangkan siapa calon pembaca esai. Jika calon pembaca esai Anda adalah para intelektual, gunakanlah bahasa intelektual pula. Sebaliknya, jika calon pembaca adalah masyarakat umum, gunakanlah bahasa umum, tetapi tetap menggunakan bahasa formal. Hal ini dilakukan untuk membuat esai Anda selain bagus secara struktur, juga baik secara konteks, karena mudah dipahami.

5. Kerjakan

Setelah hal–hal di atas telah selesai dilakukan, mulailah menulis. Dalam menulis esai ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu :

  • Introduction/pendahuluan

Introduction adalah bagian awal esai, Bagian ini mengungkapkan hal yang akan dibahas di dalam sebuah esai. Selain itu, di dalam introduction juga terdapat statement Anda tentang suatu pemasalahan yang akan dibahas, tulislah statement tersebut dengan bahasa yang bisa menimbulkan pertanyaan dan keingintahuan dari pembaca untuk mencari tahu alasan – alasan  tentang statement tersebut.

  • Isi

Bagian selanjunya adalah isi. Bagian ini mengandung garis besar keseluruhan isi esai. Tulislah dengan mengacu pada point – point pada outline yang telah dibuat. Kembangkanlah point – point tersebut dan jangan lupa untuk memberikan pendukung berupa data agar opini Anda tidak lemah.

  • Penutup

Bagian selanjutnya adalah penutup. Bagian ini berupa konklusi atau kesimpulan dari esai. Tulislah kembali point – point pada bagian isi dengan bahasa lain dan dalam satu kalimat. Sebuah kesimpulan harus mewakili isi esai tersebut dan janganlah memunculkan ide atau topik baru pada bagain penutup. 

6. Judul

Judul juga penting dalam membuat esai. Judul yang baik adalah judul yang bisa memikat perhatian orang lain, sehingga mereka tertarik untuk membacanya. 

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
contoh esai:

JUDUL=> Sastraku Sayang Sastraku Malang: Tragedi Pengajaran Sastra Di Indonesia



1. Pendahuluan

Akhir-akhir ini orang merasakan perlunya memperbaiki moral bangsa yang telah terpuruk dengan mengusulkan pelajaran budi pekerti dihidupkan kembali. Suara pro dan kontra pun timbul. Yang pro masih belum tahu, dalam bentuk apa pelajaran budi pekerti itu harus diajarkan. Sementara yang kontra menyangsikan kegunaan pelajaran itu karena hanya akan menambah beban siswa saja.

Dari fenomena itu sesungguhnya kita disadarkan bahwa ada yang salah dalam pengajaran sastra kita selama ini. Kita tidak pernah tahu akan fungsi sastra sebagai benteng/penjaga moral bangsa kendati kita menggalakkan bulan bahasa dan sastra dengan biaya yang tidak kecil setiap bulan Oktober. Apresiasi sastra dilaksanakan tanpa pemahaman sama sekali karena pelajaran sastra hanya dijadikan penunjang pelajaran bahasa. Sastra sebagai seni tidak pernah dikenal sehingga minat baca siswa pun mati dan ilmu pengetahuan tidak berkembang. Dunia pendidikan akhirnya tinggal rangka dan sumber daya manusia pun terpuruk. Jadi terapi untuk memperbaiki moral bangsa bukan dengan membuka lahan baru yang bernama budi pekerti, tetapi memperbaiki pengajaran sastra, baik di sekolah maupun di fakultas sastra.

Konon kabarnya, di Amerika seorang mahasiswa dari berbagai jurusan baru dapat menerima ijazah sarjananya jika ia berhasil lulus dalam mata kuliah sastra Amerika. Ini menunjukkan betapa pentingnya moral bagi para sarjana, yang kelak mungkin akan memangku berbagai posisi penting dalam pengambilan keputusan. Mereka sadar bahwa di tangan orang yang bermoral, ilmu pengetahuan mendapatkan tempatnya yang pas (tidak disalahgunakan), sehingga para sarjana (ilmuwan) dibekali dengan sastra. Jadi, fungsi sastra sangat menentukan. Oleh karena itu,  mengefektifkan pelajaran sastra berarti menanamkan moral pada anak-anak didik. Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui.
Bagaimanakah mendongkrak pengajaran sastra yang mandul itu? Makalah ini mencoba menjawab pertanyaan itu sebagai urun rembug (partisipasi) untuk mengatasi masalah itu.

2. Sastra adalah Moral
Jika orang membaca suatu karya sastra, ia ingin memperoleh kenikmatan darinya. Atas dasar itu, sastra harus ditempatkan pada posisi yang benar, yaitu posisi seni, bukan ilmu. Sastra adalah seni bahasa (poetic language). Ia sejajar dengan seni-seni lainnya, seperti seni lukis, seni patung, tari, dst. karena ia menyampaikan pesan melalui medium simbolis. Jadi, kenikmatan seni tidak berhenti pada kenikmatan sensual, tetapi berlanjut pada kenikmatan intelektual.

Sastra yang lebih khusus lagi adalah novel dan drama karena di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang hidup. Sambil menghibur novel atau drama mengajak kita berpikir, merenung, tentang tindakan tokoh-tokoh dan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan-tindakan itu. Dengan cara demikian pembaca menemukan teladan bagi kehidupannya, yaitu berupa nilai-nilai moral (kebenaran) yang universal. Nilai-nilai moral itulah yang membuat sastra mempunyai nilai tinggi sebagai kebudayaan batin suatu bangsa. Jadi, sastra bukanlah objek atau benda mati, melainkan subjek karena ia hidup. Sastra dihidupkan oleh tokoh-tokohnya. Tugas pembaca adalah memahami tindakan tokoh-tokoh itu. Memahami berarti mencapai fusi antara dunia tokoh dan dunia pembaca. Jadi, hubungan pembaca dengan tokoh-tokoh imajiner di dalamnya itu adalah intersubjektif seperti kita berdialog dengan teman-teman dekat kita.

3. Sastra Sebagai Media

Sebagai seni yang bermuatan moral, sastra adalah media komunikasi antara pengarang dan pembaca. Sastra berusaha menyampaikan pesan kepada pembacanya. Dalam hal ini kemampuan pembaca dan kemampuan pengarang haruslah seimbang untuk dapat menangkap pesan itu. Di sini pembaca diharapkan paling tidak dapat merekonstruksi karya yang dibacanya.

Usaha rekonstruksi ini membutuhkan kajian ilmiah. Di sini sastra sebagai media berubah menjadi objek. Sebagai objek studi, sastra adalah simbol (symbolic form)yang harus ditafsirkan. Sastra memiliki makna ganda, yaitu makna harfiah (literal) dan makna kiasan (figuratif). Kita tidak berhenti pada maknanya yang harfiah, tetapi berlanjut pada maknanya yang figuratif (the meaning of meaning). Makna yang terakhir inilah yang disebut pesan (message). Dalam hal ini ucapan Marshall McLuhan, 'the medium is the message' juga berlaku dalam sastra.
Tujuan kita dengan menafsirkan sastra adalah menangkap pesan atau maknanya yang figuratif itu. Pesan itu bersifat metaforis karena sastra adalah cermin atau model bagi tindakan kita. Ia serupa pil pahit yang berlapis gula. Sastra memberi pelajaran tanpa menggurui, memberi nasihat tanpa menyakiti. Atas dasar itulah sastra adalah seni, ia mengungkapkan kebenaran yang pahit dalam kemasan yang indah, halus, dan menyejukkan. Sastra adalah dulce dan sekaligus utilesebagaimana kata Horatio.

4. Sastra Sebagai Simbol

Dengan judul ini dimaksudkan bahwa pemisahan sastra dalam bentuk dan isi sebagaimana yang terjadi selama ini dalam pengajaran sastra kita adalah sangat menyesatkan. Sastra adalah entitas (wujud) yang takterbagi karena sastra adalah simbol. Sebagai simbol sastra bermakna ganda. Maknanya inilah yang harus digali, bukan justru entitasnya yang dipecah-pecah. Begitu dipecah menjadi bentuk dan isi, sastra kehilangan sifatnya yang hakiki sebagai simbol dan tidak bisa lagi dipahami.

Sebagai seni, sastra adalah ekspresi simbolis (symbolic form), karena tidak menunjuk pada gejalanya sendiri atau pengalamannya sendiri secara langsung melainkan pada pengalaman yang sudah disimbolkan, yakni menjadi ungkapan simbolis dari pengalaman tersebut. Sastra adalah pengalaman yang sudah mengalami transformasi. Ia merupakan universalisasi pengalaman. Artinya, dalam menciptakan seninya, seniman merenungkan dan merasakan pengalaman yang langsung dan selanjutnya membuat pengalaman langsung itu menjadi pengalaman yang umum, yang bisa dicernakkan juga oleh orang lain.
Dengan demikian, sastra adalah lukisan formal sebuah kehidupan. Sebagai konsekuensinya, kajian sastra pun harus dilakukan secara formal pula. Dalam hal ini, semiotik adalah metode ilmiah yang cocok bagi sastra. Semiotik adalah disiplin yang meneliti semua bentuk komunikasi sejauh hal ini didasarkan pada sistem tanda (kode). Semiotik menggunakan ilmu bahasa (linguistik) sebagai modelnya, yaitu bahasa sebagai sistem. Jadi, baik linguistik maupun semiotik mengarahkan penelitiannya pada sistem. Linguistik meneliti sistem bahasa atau gramar, semiotik sastra meneliti sistem sastra atau konvensi sastra.

4. Semiotik sebagai Teori Sastra

Setiap karya sastra (poetic language) adalah tanda, yaitu kesatuan penanda (bentuk/struktur) dan petanda (isi). Tidak ada dualisme antara penanda dan petanda atau antara bentuk/struktur dan isi. Selanjutnya, hubungan antartanda disebut sintaksis, hubungan tanda dan acuannya disebut semantik, dan hubungan tanda dan pemakainya disebut pragmatik. Jadi, ada tiga aspek dalam hubungan tanda.
Tanda juga dibedakan atas ikon, indeks dan simbol. Karya sastra sebagai tanda adalah simbol, yang membutuhkan penafsiran untuk memahaminya atau menemukan maknanya. Dalam penafsiran aspek semantik mendapatkan fungsinya, karena pemahaman adalah menghubungkan tanda (dunia fiksi yang diciptakan pengarang) dan acuannya (dunia 'nyata').
Namun, untuk pemahaman yang ilmiah harus ditempuh dua cara secara berurutan, yaitu secara naif (verstehen) dan secara kritis (erklaren). Pada yang pertama penafsiran bertujuan menemukan makna (semantik luar), sedangkan pada yang kedua bertujuan menemukan sistem (semantik dalam). Jadi, tanpa yang pertama kita tidak akan mencapai yang kedua.

4.1. Tahap Verstehen

Makna secara ilmiah adalah kebenaran, yang dalam ilmu humaniora disebut kebenaran performatif, yaitu kesesuaian antara ucapan dan tindakan dalam berkomunikasi. Kebenaran performatif muncul dari tuturan performatif, yaitu kalimat yang menggunakan persona pertama, bentuk indikatif, waktu sekarang, aktif, di mana ucapan tidak punya isi selain tindakan yang dituturkan dalam ucapan itu. Di sini bahasa bukan sekedar alat untuk menuturkan tindakan, tetapi alat untuk melaksanakan tindakan yang dituturkan. Demikian juga sebaliknya, "ketika anda berbicara (atau menulis) anda tidak hanya melaksanakan suatu tindakan, tetapi juga menuturkan tindakan yang sedang anda laksanakan" (J.L. Austin, How to Do Things with Words, Oxford University Press, 1962).
Sastra sebagai humaniora adalah juga bentuk performatif. Di sini peran pengarang sebagai kreator berubah menjadi pengrajin sehingga sastra pun berubah menjadi teks yang otonom. Sastra menciptakan dirinya sendiri dengan peran kreator dipegang oleh subjek teks (tokoh) lewat tindakannya yang diucapkannya dalam tuturan performatif. Jadi, menulis tidak merujuk suatu pekerjaan merekam, mencatat, dst, tetapi merujuk suatu bentuk performatif yang di dalamnya ucapan hanya berisi tindakan yang dituturkan oleh ucapan itu.

... that writing can no longer designate an operation of recording, notation, representation, 'depiction' (as the Classic would say); rather, it designates exactly what linguists, refering to Oxford philosophy, call a performative, a rare verbal form (exclusively given in the first person and in the present tense) in which the enunciation has no other content (contains no other proposition) than the act by which it is uttered--something like "the I declare" of kings or "the I sing" of very ancient poets. Having buried the Author, the modern scriptor can thus no longer believe, as according to the pathetic view of his predecessor, that this hand is too slow for his thought or passion and that consequently, making a law of necessity, he must emphasize this delay and indefinitely 'polish' his form. For him, on the contrary, the hand, cuts off from any voice, borne by a pure gesture of inscription (and not of expression), traces a field without origin--or which, at least, has no other origin than language itself, language which ceaselessly calls into question all origins. (Barthes dalam Rice, 1989:116)

Memahami makna suatu teks berarti menemukan kebenaran performatif teks itu. Hal itu dapat dicapai hanya melalui pemahaman akan lakuan tokohnya. Untuk memahami lakuan tokoh perlu dipertanyakan hubungan antara pelaku dan lakuannya. Apakah pelaku adalah penyebab lakuannya? Jawabnya bisa ya dan bisa tidak tergantung pada kesadarannya, karena tidak semua lakuan tokoh disadari oleh yang bersangkutan. Di sini  kita sampai pada perbedaan hubungan antara sebab dan motif. Ada sebab tanpa motif dan ada motif tanpa sebab yang menimbulkan tindakan manusia. Pada yang pertama pelaku tidak menyadari tindakannya, sedangkan pada yang kedua pelaku sangat sadar. Hal yang pertama dikenal sebagai kendala (constraint), sedangkan yang kedua disebut motivasi, sesuatu yang  muncul dari dalam, seperti keinginan, cita-cita, hasrat (desire).

Sebagai hal yang tidak disadari, kendala bukan sesuatu yang mudah dipahami. Tugas kajian sastra adalah memahami lakuan tokoh yang ditimbulkan oleh kendalanya. Hal itu akan jelas dalam pertanyaan: apa yang menyebabkan seseorang melakukan hal itu? Kendala dapat dipahami jika konteksnya diketahui. Itulah sebabnya sastra tidak berlaku universal atau bahkan nasional. Sastra Jawa tidak untuk dikonsumsi orang Batak, misalnya. Bahkan ada kalanya kelokalannya dieksplisitkan dengan menggunakan bahasa lokalnya sendiri. Jadi, tidak heran jika ada sastra Indonesia yang banyak menggunakan kata-kata daerah, sepertiPengakuan Pariyem.
Dengan memahami kesadaran tokoh--yang berarti mampu memahami kendalanya--membaca sastra adalah berdialog dengan tokoh dalam sastra. Hubungan pembaca dengan tokoh imajiner itu bukanlah hubungan subjek-objek, melainkan intersubjek, seperti kita berdialog dengan manusia yang hidup. Kemampuan pembaca berempati dengan tokoh imajiner itu menentukan kemampuannya menangkap makna cerita yang dibacanya. Dengan demikian, memahami berarti mencapai fusi antara dunia tokoh dan dunia pembaca.

4.2. Tahap Erklaren

Penafsiran seperti di atas (verstehen) masih diragukan keilmiahannya. Ini berarti makna itu masih perlu diperjelas (erklaren). Jadi, untuk mencapai taraf ilmiah penelitian harus bergerak dari semantik ke semiotik, atau--seperti telah dikatakan di atas--dari semantik luar ke semantik dalam. Atau--dengan kata lain--dari paroleke langue atau dari fenomena ke sistem yang mengaturnya.
In order to become a science any human discipline must move from the phenomena it recognize to the system that governs them, from the parole to langue. In language, of course no utterance is intelligible to a speaker who lacks the language system that govern its meaning. The implication of this for literature are striking. No literary utterance, no "work" of literature, can be meaningful if we lack a sense of the literary system into which it fits. This is why Roman Jakobson insists that the proper object of literary study is "literariness".... (Scholes, 1974:14-5).

Dalam tahap ini makna teks yang simbolis itu dirumuskan dalam suatu model generatif narasi yang di dalamnya termuat gramar narasi dan semantik. Model yamng dibangun oleh Greimas itu disebut model aktan, yang berupa tiga hubungan oposisi biner yang seluruhnya terdiri atas enam aktan (peran): yaitu hubungan subjek/objek, pengirim/penerima, penolong/penentang. Ketiga hubungan itu menguraikan tiga pola dasar yang berulang dalam semua naratif: (1) kehendak, hasrat, atau tujuan (Subjek/Objek), (2) komunikasi (pengirim/penerima), dan (3) tindakan (penolong/penentang). Selanjutnya, Greimas menerapkan hukum transformasi terhadap ketiga hubungan dalam model aktan itu dan disebut model fungsional, yaitu berupa tiga tahap perkembangan: tahap kecakapan, tahap utama, dan tahap gemilang.
Model aktan yang bersifat akronis dan model fungsional yang bersifat diakronis tersebut adalah abstraksi lakuan tokoh (parole), yang oleh Roman Jakobson disebut literariness atau langue of literature.
Man is the Talking Animal: he is homo loquens. So, the fundamental structures of his language must inevitably inform and shape the fundamental structures of his stories. And even though those stories seems different on the surface, a 'structural' analysis reveals that they spring from a common 'grammar' or (to use the term which Greimas employs to give the sense of the model's fundamentally dramatic, interlocutory nature) 'enunciation-spectacle' (enonce-spectacle); the content of the actions changes all the time; the actor vary, but the enunciation-spectacle remains always the same, for its permanence is guaranteed by the fixed distribution of the roles. (Hawkes, 1972: 89)

Menurut Jakobson, kesastraan inilah yang memungkinkan ilmu sastra dapat mandiri. Oleh sebab itu, subjek ilmu sastra bukanlah sastra (literature) melainkan kesastraan (literariness).

With the object of literary studies circumscribed on the basis of differentiation and not on that of inherent qualities, it becomes possible both to established the notion of literariness, and to give some kind of scientific status to the study of literature. These two features are central to Formalist theory. Literariness, and not this or that work by this or that author, is the object of literary studies. Or, as Jakobson put it, 'The subject of literary science is not literature, but literariness, i.e. that which makes a given work a literary work.' (O'Toole and Shukman 1977: 17). It was as a result of studying individual literary works that preceding types of literary study had been led astray into adjacent disciplines. The heterogeneous nature of its object had led to a heterogeneous discipline, and it was only by making literariness the object of its enquiry that literary science could exist as an independent and indeed as a coherent and systematic type of study. (Jefferson, 1984: 20--21)


5. Hermeneutik sebagai Teori Kritis

Dengan semiotik kita baru mencapai tahap rekonstruksi, kita baru memahami teks (sense) secara ilmiah. Bagi kajian sastra yang komprehensif dan kritis hal ini belum cukup. Di sini pembaca dituntut kritis terhadap teks yang dibacanya, bahkan juga dituntut lebih pandai dari pengarangnya.

Pencarian makna yang lebih mendalam dilakukan dalam kajian hermeneutik karena hermenenutik adalah pendukung prinsip polisemi teks. Di sini penafsiran tidak berhenti pada maksud teks seperti pada semiotik yang menekankan prinsip monosemi teks, tetapi berlanjut dengan menyoroti perspektif pembaca karena hermeneutik adalah pendukung teori resepsi yang mengutamakan peran pembaca. Jadi, kajian hermenenutik mencakup dua tahap yang berurutan, yaitu tahap rekonstruktif yang hanya menyoroti intensi teks dan tahap produktif yang menyoroti perspektif pembaca. Yang pertama bertujuan menghindari salah paham, sedangkan yang kedua bertujuan agar dapat "memahami dengan lebih baik daripada pengarangnya". Ini berarti, setelah berhasil memahami teks yang dibacanya, pembaca dituntut untuk memahami diri lewat karya yang dipahaminya itu (refleksi). Oleh karena itu, Ricoeur berpendapat bahwa memahami adalah gerak dari apa yang dikatakan (sense) ke tentang apa yang dikatakan (reference).
Untuk menjelaskan pendapatnya itu, Ricoeur--seorang penganut teori makna pluralis--membedakan antara makna penutur (noetika) dan makna tuturan (noematika). Perbedaan ini perlu karena ia ingin mempertahankan kehadiran subjek dalam wacana (human discourse). Makna penutur mempunyai tandanya dalam makna tuturan karena struktur kalimat mengacu kembali ke si penutur lewat prosedur gramatikal yang disebut "shifter" (kata ganti, nama diri, kata penunjuk, adverbia ruang dan waktu), sedangkan makna tuturan adalah isi proposisi yang merupakan sisi objektif wacana. Makna tuturan mencakup "apa"-nya wacana (sense) dan "tentang apa"-nya wacana (reference)Sense adalah intensi teks yang dalam sastra identik dengan maksud narator, sedangkan reference adalah tanggapan pembaca. Berbeda dengan sense yang bersifat tertutup sebagai hasil rekonstruksi dari intensi teks, reference bersifat terbuka sebagai hasil refleksi oleh pembaca (apropriasi).

Dengan menghadirkan reference, Ricoeur menentang tesis dasar strukturalisme bahwa bahasa adalah sistem tertutup. Ricoeur berpendapat bahwa pemahaman tidak terhenti pada sense yang hanya bersifat rekonstruktif, tetapi harus berlanjut ke reference agar melalui teks yang dibacanya pembaca dapat menemukanmeaning atau makna bagi dirinya sendiri. Di sini, horison pembaca lebur dalam horison penulis dengan teks sebagai perantara dalam penyatuan horison ini. Peleburan ini diharapkan menghasilkan pemahaman diri. Dengan demikian, penafsiran menjadi produktif.
The purpose of all interpretation is to conquer a remoteness, a distance between the past cultural epoch to which the text belongs and the interpreter himself. By overcoming this distance, by making himself contemporary with the text, the exegete can appropriate its meaning to himself: foreign, he makes it familiar, that is, he makes it his own. It is thus the growth of his own understanding of himself that he pursues through his understanding of the other. Every hermeneutics is thus, explicitly or implicitly, self-understanding by means of understanding others. (Reagan, 1978:101)

Pemahaman diri atau transformasi diri adalah usaha menangkap kembali Ego dalam cermin objek dan tindakan, simbol dan tandanya. Jadi, penafsiran teks memucak pada penafsiran diri. Hal itulah yang terjadi dalam refleksi.

...that the interpretation of a text culminates in the self-interpretation of a subject who thenceforth understands himself better, understand himself differently, or simply begins to understand himself. This culmination on the understanding of a text in self-understanding is characteristic of the kind of reflective philosophy which, on various occasions, I have called 'concrete reflection'. (Thompson (Ed.) 1981:158)

Dengan demikian, penafsiran bukan sekedar cara mengenal dunia, melainkan cara berada di dunia (interpretation is not only a mode of knowing, but a mode of being in the world). Pendapat Ricoeur itu telah sejalan dengan nasihat Marx untuk "mengubah realitas dan bukan hanya menafsirkannya."

6. Penutup
Sastra modern yang tertulis dalam bahasa Indonesia mencakup berbagai budaya yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Hal ini dapat dilihat dari latarnya.Pengakuan Pariyem berlatar Jawa, Warisan berlatar Minang, Upacara berlatar Dayak, dan lainnya. (Ada juga sastra yang berlatar Islam, Hindu, dsb.) Dari latar itu kita tahu bahwa karya-karya itu hanya untuk komunitasnya sendiri. Untuk memahami karya-karya yang etnosentris itu dibutuhkan kajian budayanya (cultural study). Hal inilah yang tidak pernah terjadi di Fakultas Sastra di seluruh Indonesia sehingga pengajaran sastra gagal membentuk budi pekerti (character and nation building) sebagaimana yang dicita-citakan oleh para bapak bangsa kita dulu. Pluralitas budaya yang tampak dalam sastra dibuang dan digantikan dengan kajian yang konon kabarnya ilmiah sehingga seragam. Semua sastra dengan latar belakang apa pun dikaji hanya dari urutan peristiwa (sekuen), penokohan, dan latar yang satu sama lain tidak berkaitan sehingga hampa dari nilai-nilai kehidupan. Sastra menjadi benda mati yang tidak berbicara apa-apa kepada pembacanya.

Sastraku sayang sastraku malang. Dunia pendidikan yang seharusnya mampu memanfaatkan sastra sebagai sarana pembentukan pribadi anak, justru melecehkan sastra. Di sekolah-sekolah menengah sastra hanya dijadikan penunjang pelajaran bahasa (ancilla linguistica), dan di Fakultas Sastra sendiri sastra dipasung sehingga kehilangan identitasnya. Di sinilah ironisnya! Fakultas sastra bukan membentuk kritikus sastra yang andal, melainkan menghancurkan kepekaan murid akan sastra.
Keinginan banyak pakar pendidikan untuk menghidupkan kembali pelajaran budi pekerti di sekolah-sekolah dengan memanfaatkan cerita rakyat sebagai bahannya adalah langkah surut. Pelajaran semacam itu tidak sesuai dengan umur anak yang sudah membutuhkan pelajaran yang merangsang berpikir. Cerita rakyat adalah cerita pengantar tidur yang dikisahkan untuk mempererat ikatan emosional anak dan orang tuanya. Dari cerita pengantar tidur itulah motivasi anak akan sastra harus dibangkitkan lewat pelajaran sastra, bukannya malah ditindas.


DAFTAR PUSTAKA

Barthes, Roland. "The Death of the Author" dalam Philip Rice & Patricia Waugh. 1989. Modern Literary Theory: A Reader. London: Edward Arnold.


Daiches, David. 1968. A Study of Literature For Readers and Critics. London: Andre Deutsch


Frye, Northrop. 1964. The Educated Imagination. Bloomington: Indiana University Press.


Hawkes, Terence. 1977. Structuralism & Semiotics. London: Methuen & Co. Ltd.


Jefferson, Ann and David Robey (Ed.). 1984. Modern Literary Theory. A Comparative Introduction. New Jersey: Barnes & Noble Books.

Ricoeur, Paul. 1976. Interpretation Theory and Surplus Meaning. Fort Worth: Texas Christian University Press.

Reagen, Charles E. & David Stewart (Ed.) 1978. The Philosophy of Paul Ricoeur: An Anthology of His Works. Boston: Beacon Press


Shukman, Ann. 1977. Literature and Semiotics: A Study of the Writing of Yu. M. Lotman. Oxford: North-Holland Publishing Company.


Sudiardja, A. 1983. "Manusia dalam Dimensi Simbolis" dalam

Sastrapratedja, M. (Ed.) Manusia Multi Dimensional: Sebuah
Renungan Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Scholes, Robert. 1968. Elements of Fiction. New York: Oxford

University Press.

Scholes, Robert. 1974. Structuralism in Literature: An

Introduction. New Haven: Yale University Press.

Scholes, Robert and Robert Kellog "The Problem of Reality" dalam   Philip Stevick (Ed.). 1967. The Theory of the Novel. New York:

The Free Press.

Thompson, John B. (Ed.) 1981. Paul Ricoeur Hemenenutics and the

Human Sciences: Essays on Language, Action, and
Interpretation. Cambridge: Cambridge University Press.


Victor, Erlich. 1980. Russian Formalism: History-Doctrine. The

Hague: Mouton

Wiles, Katie. 1991. A Dictionary of Stylistics. London & New York:

Longman