monolog kucing
karya: gilang rahmawati
Aku terlempar dari ketinggian, kulihat ke langit-langit ada tangan yang melepasku. Bukan..bukan, dia bukan melepasku tapi melemparku. Teramat keras, hingga terasa tulangku berbunyi terkena aspal keras.
Pemilik tangan itu pergi, menjauhiku. Rasanya aku ingin memaki tapi ternyata air mata lebih dahulu turun di ujung mataku. Ah, tidak! Aku menangis, bukan memaki. Dia –pemilik tangan- itu benar-benar pergi dan menghilang di ujung jalan meninggalkanku yang masih berusaha berteriak padanya.
“Meoooonngg…” aku merintih.
Baru saja rasanya tadi pagi aku merasakan nikmatnya sepiring ikan asin bersama saudaraku. Tapi, sekarang di tengah teriknya matahari di atas kepalaku. Aku kebingungan dan kelaparan. Aku mulai mengendus, mencari sesuatu yang mungkin bisa kumakan. Di balik pohon itu ada tong sampah, tapi selama aku hidup tak pernah kusentuh dan kucari makanan dari tong sampah.
Aku hanya bisa menatap bentuk tong sampah itu. Seharusnya aku bisa menjatuhkan benda itu, sebab ia tidak begitu tinggi. Tapi, aku terlalu enggan untuk mendekatinya. Ternyata keenggananku ini diperhatikan oleh kucing lain.
“Kenapa? Kamu jijik ya ke tong sampah?” godanya dari atas pagar.
Aku hanya terdiam. Bingung kata apa yang bisa kuberi untuk menjelaskan aku tidak pernah menyentuh tong sampah.
“Tampaknya aku baru melihatmu di sini, asalmu darimana?” tanyanya lagi.
“Aku..akuuu.. Entahlah, tadi manusia melemparku dan ia telah memisahkanku dari saudaraku.” Aku mulai bisa berbicara dengan kucing itu.
Saat kami asik berbincang (tentu saja dengan bahasa kucing) ada air yang jatuh dari atas. Ku pikir itu air hujan tapi ternyata air yang berasal dari ember yang dilempar oleh manusia.
“Huuusshh huussh, jangan berkelahi di sini… sana sanaaa..” bentak manusia itu.
Aneh, padahal kami berdua tidak berkelahi. Ya, kami hanya berbincang saja. Kini tubuhku basah kuyup dan kucing yang tadi baru kukenal telah hilang dari pandanganku. Ia berlari menjauhi manusia itu.
Aku berjalan pelan lalu duduk dan menjilati tubuhku, mengeringkan bulu-buluku yang basah. Aku masih menerka-nerka, sejauh mana aku dibuang sekarang. Karena, selama perjalanan aku hanya melihat kegelapan. Hanya telingaku saja yang berusaha mendengar suara-suara di luar kardus. Aku seperti diculik tapi sayang ini bukan penculikan tapi pembuangan.
Masih menjilati bulu-buluku yang basah, aku menerka-nerka apa kesalahanku hingga dibuang begini. Setiap pagi aku hanya berjalan-jalan mengelilingi rumah itu, ya memang sesekali aku menaiki sofa milik mereka. Tapi toh aku tidak mencakar-cakar, aku hanya berbaring di sana. Sering kali aku berkeliling di plafon untuk mencari tikus. Bukankah itu menguntungkan bagi mereka, setidaknya aku membasmi tikus-tikus yang sering memakan apa saja yang ada di dapur.
Dan kebaikanku dibalas dengan melemparku jauh dari tempatku lahir? Ah, tega.
Memang aku bukan lagi kucing kecil, sebab tubuhku kini sudah lebih besar dan sudah bisa menangkap tikus. Apa karena aku telah menjadi besar, sehingga aku dilempar?
Aku mulai berjalan lagi mengikuti jalan trotoar yang panas menyengat, sambil masih menerka-nerka kesalahanku. Hingga aku lelah sendiri mencari jawabannya. Jadi, kuputuskan untuk melupakannya dan menganggap ini memang sudah pantas kualami. Toh pada akhirnya aku memang sudah harus berpisah dari saudaraku. Ya, meski aku tetap tidak terima dengan cara dilempar seperti tadi.
“Meooonng..”
Aku mengeluarkan suara untuk mengetes seberapa ramai atau seberapa sunyi tempat yang baru ini. Kakiku mendadak lemas sebab perut terus saja merengek minta diisi. Kutoleh lagi tong sampah yang sudah kutinggal pergi. Mungkin di dalam tong itu banyak isi yang bisa menganjal perutku.
Sepertinya tong sampah itu berbicara padaku, “ayolah kemarii…” hingga ia berhasil menyeret kakiku untuk balik arah mendekatinya.
Aku berusaha berdiri di tepi tong dan melihat ke dalam tong.
*Wuusshh..
Suara angin tampaknya menertawakan kepedihanku, tong itu tidak berisi makanan. Hanya ada setumpuk kertas. Mungkin seharusnya aku makan kertas saja jika siang ini tidak mendapati makanan. Ah, sejak kapan kucing makan kertas? Mau cari mati rupanya aku.
Tempat ini memang ramai, tapi ramai oleh motor yang lalu-lalang. Tidak ramai oleh orang-orang yang jalan kaki. Aku duduk di pinggir trotoar, mengusap-usap kepalaku. Dari balik pagar di sebuah rumah, ada seorang anak perempuan yang berteriak mengagetkanku.
“Iiiii ada kuciiing lucuu..”
Anak itu berlari mendekatiku, aku berusaha mundur menjauh. Dia begitu asing, tapi entah kenapa aku mencium ‘aroma’ kebaikan di tangannya. Aku masih tetap bertahan dengan sikapku yang terus mundur. Anak itu juga masih bertahan untuk mendekatiku.
“Puuss..meoong sini..”
Aku masih enggan mendekat, kubalas dengan suara meong saja, “Meeoonngg..”
“Okeeh okeh, sebentar ya pus..” ucap anak itu lantas ia pergi meninggalkanku yang masih ketakutan.
Anak itu masuk ke dalam rumahnya. Tak berselang lama ia kembali lagi dan lihat… Dia membawa sepiring nasi bercampur ikan asin dan ah apa itu seperti semangkuk air.
Terima kasih Tuhan kau mendengar suara perutku, tak perlu lagi aku mendatangi tong sampah di tempat lain. Sekarang, di depanku sudah ada sepiring ikan asin dan semangkuk air.
“Meoong..”
Aku berucap lirih masih dengan posisi menjauh darinya. Aku bukan takut tapi segan. Kubiarkan lama anak itu menjulurkan piring dan mangkuk itu. Tak bisa dibohongi aku memang tergiur, tapi aku segan!
Anak itu mengajakku bermain-main, ditariknya piring itu bergerak masuk ke terasnya. Aku mengikuti dengan jarak yang agak jauh. Hidungku terus saja bergerak-gerak, mengendus aroma sedap ikan asin. Ia meletakan piring itu di teras rumahnya yang teduh, ah terima kasih Tuhan dia mengerti aku kepanasan. Anak itu pergi meninggalkanku yang masih terdiam malu-malu.
“Meoonng..”
Aku mencoba mencarinya dengan bersuara, tak jua ia keluar. Kulihat kiri dan kanan, waspada pada kucing lain. Ini jatahku! Jangan sampai kucing lain mengambilnya. Kakiku berjinjit mendekati piring itu, hidung pun masih mengendus-endus.
“hhmm..nyaaamm..”
Terima kasih Tuhan, kau hadirkan sepiring ikan asin ini yang lezat.
*braaakk..
Reflek aku menoleh, mencari asal suara. Suara apa itu? Darimana? Anak tadi apa kucing lain?
Kugeser piring itu agak menepi, pokoknya ini jatahku jangan ada yang ikut memakannya. Kunikmati lagi setiap gigitan ikan asin sampai piring itu tampak bersih. Kujilati air pada mangkuk, segar. Selesai makan, aku duduk santai kekenyangan sambil menjilati kaki.
“Baaaa…”
Aih! Aku kaget, anak itu keluar dari pintu lalu berteriak nyaring.
“Dasaarrr kucing, memang sukanya malu-malu. Haha.. pantas saja ada peribahasa malu-malu kucing. Hahaha” anak itu tertawa geli, dan aku pun tersipu malu.
****
Kupanggil, dia cuma meoong.
Kutinggal, dia juga meoong.
Kulempar ikan, dia terdiam.
Kutinggal pergi, dia curicuri pandang.
Kuintip, dia mengunyah.
(Malu-Malu Kucing)
****
Palangkaraya, 27 Juni 1990.